Sunday, June 17, 2012

Jika Aku Menjadi Presiden Indonesia

Assalamu Alaikum WR. WB.

Rekan-rekan semuanya,
saya ingin menunjukkan pada anda sebuah artikel yang saya pribadi buat di forum Kaskus dengan ID : Noulan.
Tulisan saya tersebut merupakan reaksi saya terhadap salah satu thread (artikel) di kaskus yaitu 1 hal yg agan lakukan kalo jadi presiden Indonesia apa sih?.
Artikel tersebut mempertanyakan apa tindakan kita jika menjadi presiden Indonesia, untuk itu saya membuat daftar tindakan yang akan saya lakukan jika saya menjadi PRESIDEN INDONESIA.

Setelah membaca thread tersebut, saya secara spontan langsung menulis komentar yang cukup panjang lebar. Percaya atau tidak,  semua jawaban itu keluar secara SPONTAN!
Saya pribadi punya cita-cita untuk MEMPERBAIKI INDONESIA!

ini tulisan saya atau jawaban saya terhadap pertanyaan di thread (artikel) di atas,


1. Membatalkan kenaikan harga BBM, kalaupun harus naik, tidak lebih dari 500 perak.

2. Menaikan pajak rokok, yang sebelumnya cuma 10 %, jadi 50 %,  ya walaupun ini masih belum cukup untuk menekan perokok, minimal bisa membantu untuk subsidi BBM. 

3. Membuat peraturan mengenai mobil dengan merek, harga, emisi dan tahun keluaran tertentu menjadi kelompok mobil mewah sehingga pajak kendaraan bermotornya dinaikan 200 %.

4. Menghentikan pemberian BLT atau sejenisnya, karena sama sekali gak mendidik. Dan akan digantikan dengan kredit usaha lunak untuk rakyat melalui lembaga tertentu (bukan BANK) dimana pegawainya dari PNS (ga perlu buka lowongan pegawai lagi). 

5. Mengusir FREEPORT dan sejenisnya dari bumi indonesia!!!!!! 
(secara bertahap tentunya... Kalo sekaligus akan memperburuk hubungan bilateral dengan negara-negara tertentu, hubungan bilateral itu penting loh!). 

6. mengumpulkan dukungan berbagai kalangan untuk upaya menurunkan gaji anggta DPR walaupun cuma 10 %. 

7. Walaupun saya bukan orang yang terlalu care soal budaya, tapi saya pribadi ingin menginstruksikan BATIK sebagai pakaian resmi dan formal untuk kegiatan kenegaraan, JAS ga pake lagi!

8. Memulai pembangunan RUMAH SUSUN untuk gelandangan di kota-kota besar, dengan segala kebutuhan seperti air dan listrik ditanggung pemerintah. 
(saya kuliah di arsitektur, Gan. saya punya konsep tersendiri untuk RUSUN ini. Cukup rumah petak kecil dengan 1 kamar, itu sudah cukup untuk membuat mereka bahagia. Ya, walaupun akan tetap menjadi kumuh dan semrawut, tetapi minimal tidak merusak pemandangan kota dengan tinggal di kolong jembatan atau di bantaran kali).

9. Memulai priorirtas pembangunan di pedalaman demi kemerataan pembangunan. Selama 1 atau 2 tahun, menghentikan sama sekali pembangunan di kota-kota besar!


SILAHKAN MENANGGAPI.. :)


Sumber : http://livebeta.kaskus.co.id/thread/000000000000000013724631/jika-aku-menjadi-presiden-indonesia

Monday, February 06, 2012

Sang Sultan yang kena tilang

Saya mendapatkan sebuah artikel yang, menurut saya pribadi, hebat sekali..
silahkan di baca:

***
Kota batik, Pekalongan, di pertengahan tahun 1960an menyambut fajar dengan kabut tipis. Pukul setengah enam pagi, polisi muda, Royadin, yang belum genap seminggu mendapatkan kenaikan pangkat dari agen polisi kepala menjadi brigadir polisi sudah berdiri di tepi posnya di kawasan Soko dengan gagahnya. Kudapan nasi megono khas pekalongan pagi itu menyegarkan tubuhnya yang gagah berbalut seragam polisi dengan pangkat brigadir.

Becak dan delman amat dominan masa itu, persimpangan Soko mulai riuh dengan bunyi kalung kuda yang terangguk angguk mengikuti ayunan cemeti sang kusir. Dari arah selatan dan membelok ke barat sebuah sedan hitam berplat AB melaju dari arah yang berlawanan dengan arus becak dan delman . Brigadir Royadin memandang dari kejauhan, sementara sedan hitam itu melaju perlahan menuju kearahnya. Dengan sigap ia menyeberang jalan ditepi posnya, ayunan tangan kedepan dengan posisi membentuk sudut 90 derajat menghentikan laju sedan hitam itu. Sebuah sedan tahun 50an yang amat jarang berlalu di jalanan pekalongan berhenti dihadapannya.

Saat mobil menepi , brigadir Royadin menghampiri sisi kanan pengemudi dan memberi hormat.

“Selamat pagi!” Brigadir Royadin memberi hormat dengan sikap sempurna .
“Boleh ditunjukan rebuwes!” Ia meminta surat surat mobil berikut surat ijin mengemudi kepada lelaki di balik kaca, jaman itu surat mobil masih diistilahkan rebuwes.

Perlahan , pria berusia sekitar setengah abad menurunkan kaca samping secara penuh.

“Ada apa pak polisi?” Tanya pria itu.
Brigadir Royadin tersentak kaget, ia mengenali siapa pria itu .
“Ya Allah… sinuwun!” kejutnya dalam hati. Gugup bukan main namun itu hanya berlangsung sedetik, naluri polisinya tetap menopang tubuh gagahnya dalam sikap sempurna.

“Bapak melangar verbodden, tidak boleh lewat sini, ini satu arah!” Ia memandangi pria itu yang tak lain adalah Sultan Jogja, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dirinya tak habis pikir, orang sebesar sultan HB IX mengendarai sendiri mobilnya dari jogja ke pekalongan yang jauhnya cukup lumayan., entah tujuannya kemana.

Setelah melihat rebuwes , Brigadir Royadin mempersilahkan Sri Sultan untuk mengecek tanda larangan verboden di ujung jalan , namun sultan menolak.

“Ya.. saya salah, kamu benar, saya pasti salah!” Sinuwun turun dari sedannya dan menghampiri Brigadir Royadin yang tetap menggengam rebuwes tanpa tahu harus berbuat apa.

“ Jadi..?” Sinuwun bertanya, pertanyaan yang singkat namun sulit bagi brigadir Royadin menjawabnya .

“Em..emm.. bapak saya tilang, mohon maaf!” Brigadir Royadin heran, sinuwun tak kunjung menggunakan kekuasaannya untuk paling tidak bernegosiasi dengannya. Jangankan begitu, mengenalkan dirinya sebagai pejabat Negara dan Raja pun beliau tidak melakukannya.

“Baik. brigadir, kamu buatkan surat itu, nanti saya ikuti aturannya, saya harus segera ke Tegal!” Sinuwun meminta brigadir Royadin untuk segera membuatkan surat tilang.

Dengan tangan bergetar ia membuatkan surat tilang, ingin rasanya tidak memberikan surat itu tapi tidak tahu kenapa ia sebagai polisi tidak boleh memandang beda pelanggar kesalahan yang terjadi di depan hidungnya. Yang paling membuatnya sedikit tenang adalah tidak sepatah katapun yang keluar dari mulut sinuwun menyebutkan bahwa dia berhak mendapatkan dispensasi. “Sungguh orang yang besar…!” begitu gumamnya.

Surat tilang berpindah tangan, rebuwes saat itu dalam genggamannya dan ia menghormat pada sinuwun sebelum sinuwun kembali memacu Sedan hitamnya menuju ke arah barat, Tegal.

Beberapa menit sinuwun melintas di depan stasiun pekalongan, brigadir royadin menyadari kebodohannya, kekakuannya dan segala macam pikiran berkecamuk. Ingin ia memacu sepeda ontelnya mengejar Sedan hitam itu tapi manalah mungkin. Nasi sudah menjadi bubur dan ketetapan hatinya untuk tetap menegakkan peraturan pada siapapun berhasil menghibur dirinya.

Saat aplusan di sore hari dan kembali ke markas, Ia menyerahkan rebuwes kepada petugas jaga untuk diproses hukum lebih lanjut. Ialu kembali kerumah dengan sepeda abu abu tuanya.

Saat apel pagi esok harinya, suara amarah meledak di markas polisi pekalongan, nama Royadin diteriakkan berkali kali dari ruang komisaris. Beberapa polisi tergopoh gopoh menghampirinya dan memintanya menghadap komisaris polisi selaku kepala kantor.

“Royadin, apa yang kamu lakukan.. sa’enake dewe.. ora mikir.. iki sing mbok tangkep sopo heh.. ngawur.. ngawur!” Komisaris mengumpat dalam bahasa jawa, ditangannya rebuwes milik sinuwun pindah dari telapak kanan kekiri bolak balik.

“Sekarang aku mau Tanya, kenapa kamu tidak lepas saja sinuwun.. biarkan lewat, wong kamu tahu siapa dia, ngerti nggak kowe sopo sinuwun?” Komisaris tak menurunkan nada bicaranya.

“ Siap pak, beliau tidak bilang beliau itu siapa, beliau ngaku salah.. dan memang salah!” brigadir Royadin menjawab tegas.

“Ya tapi kan kamu mestinya ngerti siapa dia.. ojo kaku-kaku, kok malah mbok tilang.. ngawur.. jan ngawur…. Ini bisa panjang, bisa sampai Menteri!” Derai komisaris. Saat itu kepala polisi dijabat oleh Menteri Kepolisian Negara.

Brigadir Royadin pasrah, apapun yang dia lakukan dasarnya adalah posisinya sebagai polisi, yang disumpah untuk menegakkan peraturan pada siapa saja.. memang Koppeg (keras kepala) kedengarannya.

Kepala polisi pekalongan berusaha mencari tahu dimana gerangan sinuwun, masih di Tegalkah atau tempat lain? Tujuannya cuma satu, mengembalikan rebuwes. Namun tidak seperti saat ini yang demikian mudahnya bertukar kabar, keberadaa sinuwun tak kunjung diketahui hingga beberapa hari. Pada akhirnya kepala polisi pekalongan mengutus beberapa petugas ke Jogja untuk mengembalikan rebuwes tanpa mengikut sertakan Brigadir Royadin.

Usai mendapat marah, Brigadir Royadin bertugas seperti biasa, satu minggu setelah kejadian penilangan, banyak teman temannya yang mentertawakan, bahkan ada isu yang ia dengar dirinya akan dimutasi ke pinggiran kota pekalongan selatan.

Suatu sore, saat belum habis jam dinas, seorang kurir datang menghampirinya di persimpangan soko yang memintanya untuk segera kembali ke kantor. Sesampai di kantor beberapa polisi menggiringnya keruang komisaris yang saat itu tengah menggengam selembar surat.

“Royadin…. minggu depan kamu diminta pindah!” lemas tubuh Royadin, ia membayangkan harus menempuh jalan menanjak dipinggir kota pekalongan setiap hari, karena mutasi ini, karena ketegasan sikapnya dipersimpangan soko .

“ Siap pak!” Royadin menjawab datar.

“Bersama keluargamu semua, dibawa!” pernyataan komisaris mengejutkan, untuk apa bawa keluarga ketepi pekalongan selatan, ini hanya merepotkan diri saja.

“Saya sanggup setiap hari pakai sepeda, pak komandan. Semua keluarga biar tetap di rumah sekarang!” Brigadir Royadin menawar.

Ngawur… Kamu sanggup bersepeda pekalongan–Jogja? pindahmu itu ke jogja bukan disini, sinuwun yang minta kamu pindah tugas kesana, pangkatmu mau dinaikkan satu tingkat!” Cetus pak komisaris, disodorkan surat yang ada digengamannya kepada brigadir Royadin.

Surat itu berisi permintaan bertuliskan tangan yang intinya: “ Mohon dipindahkan brigadir Royadin ke Jogja, sebagai polisi yang tegas saya selaku pemimpin Jogjakarta akan menempatkannya di wilayah Jogjakarta bersama keluarganya dengan meminta kepolisian untuk menaikkan pangkatnya satu tingkat.” Ditanda tangani Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Tangan brigadir Royadin bergetar, namun ia segera menemukan jawabannya. Ia tak sangup menolak permntaan orang besar seperti sultan HB IX, namun dia juga harus mempertimbangkan seluruh hidupnya di kota pekalongan. Ia cinta Pekalongan dan tak ingin meninggalkan kota ini .

“Mohon bapak sampaikan ke sinuwun, saya berterima kasih, tapi saya tidak bisa pindah dari pekalongan, ini tanah kelahiran saya, rumah saya. Sampaikan hormat saya pada beliau, dan sampaikan permintaan maaf saya pada beliau atas kelancangan saya!” Brigadir Royadin bergetar, ia tak memahami betapa luasnya hati sinuwun Sultan HB IX , Amarah hanya diperolehnya dari sang komisaris namun penghargaan tinggi justru datang dari orang yang menjadi korban ketegasannya.

July 2010, saat saya mendengar kepergian purnawirawan polisi Royadin kepada sang khalik dari keluarga dipekalongan, saya tak memilki waktu cukup untuk menghantar kepergiannya. Suaranya yang lirih saat mendekati akhir hayat masih saja mengiangkan cerita kebanggaannya ini pada semua sanak family yang berkumpul. Ia pergi meninggalkan kesederhanaan perilaku dan prinsip kepada keturunannya, sekaligus kepada saya selaku keponakannya. Idealismenya di kepolisian Pekalongan tetap ia jaga sampai akhir masa baktinya, pangkatnya tak banyak bergeser terbelenggu idealisme yang selalu dipegangnya erat erat yaitu ketegasan dan kejujuran .

Hormat amat sangat kepadamu Pak Royadin, Sang Polisi sejati. Dan juga kepada pahlawan bangsa Sultan Hamengkubuwono IX yang keluasan hatinya melebihi wilayah negeri ini dari sabang sampai merauke.

Depok 25 juni 2011

Aryadi Noersaid 

***

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...