Thursday, September 24, 2015

Peradaban Aceh, Sebuah Mata Rantai Mutiara yang Hilang dari Peradaban Dunia


Tulisan berikut ini admin salin dari sebuah blog, jadi ini bukan merupakan tulisan pribadi admin sendiri.

*****

BUKTI-BUKTI HISTORIS secara empiris menegaskan; bahwa 370 tahun yang lalu, pada Era Sultan Iskandar Muda adalah masa keemasan Aceh, dimana Aceh berada pada puncak kegemilangan. Tidak hanya mampu memproduksi dan menetapkan berbagai konsep qanun (undang-undang dan peraturan), tetapi juga telah mampu melaksanakan qanun secara adil dan mendunia (kaffah).


Keberhasilan Sultan Iskandar Muda sebagai penguasa Kerajaan Aceh telah mendapat pengakuan bukan hanya dari rakyatnya, tetapi juga dari musuh-musuhnya dan bangsa asing di seluruh dunia, hal tersebut tidaklah serta merta datang dengan sendirinya bukan pula jatuh dari langit, namun tidak terlepas dari kerja keras, gigih dan jujur berwibawa serta menjaga adab dan tatakrama sebagai seorang negarawan.

Sultan Iskandar Muda telah berhasil menyatukan seluruh wilayah semenanjung tanah Melayu di bawah panji kebesaran Kerajaan Aceh: "The author of the Bustan al-Salatin curiously identifies the newly conquered territories under Mahkota Alam as “Large Countries they include Deli, Johor, Bintan, and Pahang" (Bustan 1966:26-27).

Juga telah berhasil menjalin hubungan diplomasi dengan berbagai bangsa Asing, sehingga secara diplomatik Aceh tidak hanya dikenal sebagai sebuah negeri yang sangat kaya dengan berbagai sumber daya alamnya, tetapi kekayaan itu benar-benar dapat dinikmati secara bersama-sama oleh rakyatnya.

Dalam bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan, Sultan telah menempatkan para ulama dan kaum cerdik pandai pada posisi yang paling mulia dan istimewa. Sehingga pada masa pemerintahannya, Kerajaan Aceh benar-benar menjadi salah satu pusat ilmu pengetahuan dan Tamaddun di Asia Tenggara yang paling banyak dikunjungi oleh para kaum pelajar dari seluruh dunia.

Selama lebih kurang 30 tahun masa pemerintahannya, yaitu 1606-1636 M, Sultan telah berhasil membawa Kerajaan Aceh ke atas puncak kejayaan, hingga mencapai peringkat kelima di antara kerajaan Islam terbesar di dunia pada masa kejayaan Islam, yakni setelah kerajaan Islam Maroko yang terletak di bibir pantai Samudera Atlantik Utara, Isfahan (kini propinsi bagian dari Iran) , Persia ( kini Iran) dan Agra (kini berada dibawah kendali Uttar Pradesh negara bagian dari India), dan satu tingkat berada diatas kerajaan Pattani (kini propinsi bagian dari Thailand).

Sultan Iskandar Muda lahir pada tahun 1583. (Denys Lombard, 1991: 225-226) adalah Raja XII di Kerajaan Aceh (ensiklopedia bebas). Ibunya keturunan keluarga Raja Darul Kamal (Malaka) bernama Puteri Raja Indra Wangsa, yang juga dikenal dengan nama Sri Paduka Syah Alam, Puteri Sultan Alaidin Ri’ayat Syah (1589-1604). Sedangkan ayahnya bernama Sultan Alauddin Mansur Syah putera dari Sultan Abdul Jalil bin Sultan ’Alaiddin Ri’ayat Syah Al-Kahhar (1539-1571).


Pada kurun-kurun berikutnya keturunan ayahnya inilah yang dikenal sebagai keturunan Raja Mahkota Alam I (Denys Lombard: 1991, 223). Maka tak dapat disangkal bahwa Sultan Iskandar Muda merupakan campuran darah Malaka (Melayu) dan Aceh.


Setelah menjadi Sultan. Karena rakyat Aceh terdiri dari beberapa Kawoem dan Sukee, maka Sultan Iskandar Muda mengangkat dan menetapkan pimpinan adat pada masing-masing kelompok yang ada. Selain untuk menyatukan mereka pengangkatan pimpinan adat ini juga dimaksudkan untuk mempermudah penerapan berbagai program pemerintahannya. Untuk menjamin langgengnya kerajaan Aceh di bawah panji-panji persatuan, kedamaian dan kemakmuran.


Sultan Iskandar Muda kemudian menyusun Tata Negara atas empat bagian. (Ismuha: 1988, 155).Segala kebijakan mengenai adat, hukum, qanun dan reusam itu kemudian tertuang dalam sebuah Hadih Maja yang hingga saat ini masih dikenal dalam masyarakat Aceh yang berbunyi: Adat bak Po Teu Meureuhoem, Hukoem bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang, Reusam bak laksamana.


Sultan Iskandar Muda mengeluarkan juga qanun yang menentukan martabat, hak dan kewajian segala Uleebalang serta pembesar kerajaan tertuang dalam sebuah qanun yang dikenal dengan nama Adat Meukuta Alam.

Menurut naskah Adat Atjeh, dalam menyusun qanun tersebut Sultan Iskandar Muda melibatkan para Syaikhul-Islam, Orang Kaya Sri Maharaja Lela, Penghulu Karkun Raja Setia Muda, Katibul Muluk Sri Indra Suara dan Sri Indra Muda beserta para perwira-perwira Balai Besar untuk membuat dan menyusun qanun yang sesuai dengan tatakrama dan maklumat Raja. Didalamnya memuat sebanyak sembilan fasal. Pada bagian pertama sangat jelas menggambarkan watak kewibawaan Sultan sebagai penguasa, di mana di dalamnya menguraikan tentang perintah segala raja raja.


Selain itu, ada juga qanun yang secara khusus membahas secara manusiawi tentang bagaimana hubungan yang baik antara raja dengan rakyat termasuk masyarakat non muslim dan begitu juga sebaliknya. Dalam naskah ini juga ditetapkan mengenai pegawai raja, pemimpin perang, penghulu dan uleebalang. (Adat Atjeh 1958:110, 111).


Dalam naskah "The Crown of Sultans" pada bagian ketiga juga secara spesifik membahas tentang adat majelis raja-raja. Dari beberapa naskah kuno peninggalan abad ke-16 menunjukan bahwa Sultan Iskandar Muda memiliki kebijakan yang luar biasa dalam menetapkan berbagai qanun yang menjamin kelangsungan hidup kerajaan Aceh. Sultan Iskandar Muda juga menetapkan rencong sebagai lambang kehormatan dan cap (stempel)
sebagai lambang kekuasaan tertinggi. Tanpa rencong berarti tidak ada pegawai yang mengaku bertugas menjalankan perintah raja. Setiap pegawai istana yang bertugas menyambut tamu asing wajib mengenakan rencong.

Demikian pula halnya sebuah qanun yang dikeluarkan oleh raja akan mempunyai kekuatan setelah dibubuhi cap, tanpa cap peraturan itu tidak dapat dijadikan pegangan. Salah satu bentuk cap yang masih tersisa dari masa Kesultanan Aceh adalah Cap Sikureueng. (Anomimous, 1988: i).


Sultan Iskandar Muda juga menetapkan qanun Seuneubok Lada yang memuat tentang berbagai peraturan mengenai pertanian dan peternakan. (Zainuddin. 1957: 103).

Sultan Iskandar Muda juga telah menjalin hubungan dagang dengan bangsa-bangsa asing. Berdasarkan laporan yang dibuat sesudah ekspedisi Cheng Ho ke lautan Selatan mengungkapkan bahwa kehadiran kapal-kapal Cina di Aceh merupakan bukti nyata bahwa bangsa Cina telah menjadikan Aceh sebagai pemasok rempah-rempah (Groeneveldt, 1960: 85-88).

Hubungan dagang bangsa Aceh dengan bangsa Siam sudah tercatat sejak masa kerajaan Pasai tahun 1520. Hubungan dagang tersebut semakin meningkat pada masa kerajaan Aceh dibawah Sultan Iskandar Muda. (Adat Atjeh, 164b).

Dalam Hikayat Aceh sarrga jelas disebutkan tentang adanya utusan-utusan dagang yang berasal dari Siam, Cina dan Campa pada masa Sultan Iskandar Muda. (Hikayat Atjeh, Par. 214 - 223) dan (G.Coedes, Etats hindouises, 1964: 390).

Selain itu, saudagar India pada masa Sultan Iskandar Muda merupakan salah satu bangsa yang memegang bagian terbesar dari dunia perdagangan di Aceh. (Lancaster, 1940: 90).

Pun demikian dengan bangsa Eropa yang dalam sebagian besar naskah Melayu menyebut mereka bangsa Peringgi dapat dilihat dari adanya surat-surat raja Inggris, Penguasa Perancis, Portugis dan Belanda (Djajadiningrat, CritOv, 170);

Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." Serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".

Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:

"I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset (Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam)".

Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.

Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits (pendiri dinasti Oranje) juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam pada waktu Belanda melepaskan diri dari Spanyol.

Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Beliau dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan gereja St Peter, Middleburg, Holland (kaul/hajad saya: setelah bebas dari penjara kelak akan berziarah ke sana ). Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Ratu Beatrix (Ensiklopedia bebas).

Dengan Turki, melalui sepucuk surat persahabatan yang ditulis oleh Kadhi Malikul Adil Syekh Nuruddin Ar-Raniry. Surat persahabatan itu selanjutnya disampaikan oleh utusan rombongan Aceh yang dikepalai oleh Panglima Nyak Dum. (Zainuddin, 1957: 114-121).

Dilihat dari sepanjang perjalanan sejarah Aceh, hampir dari semua aspek kehidupan menunjukkan bahwa zaman Sultan Iskandar Muda-lah merupakan masa kejayaan Aceh. Paduka Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam wafat pada tahun 1636 M dan makamnya terletak dalam komplek Kandang Mas, ditepi Krueng Daroy, Kutaraja.

300 tahun kemudian, tepatnya 72 tahun yang lalu yaitu pada tanggal 25 November 1937 Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah, genap 25 tahun memerintah nanggro Peusangan dengan adab dan tatakrama layaknya sebagaimana seorang negarawan. Para ulama dan saudagar serta tokoh masyarakat berkumpul berembug, membicarakan acara penghormatan untuk uleebalangnya.

Mereka sangat menghormati keberhasilan kerja keras Ampoen Tjhik dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat nanggro Peusangan. Perayaan itu dimeriahkan dengan berbagai hiburan diseluruh nanggro Peusangan. Tak lupa doa keselamatan dipanjatkan oleh para ulama diseluruh mesjid dan meunasah-meunasah.

Para saudagar kaya dan masyarakat nanggro Peusangan menghadiahkan Tugu Peringatan 25 tahun Teuku Tjhik Peusangan Muhammad Djohan Alamsjah bertahta di nanggro Peusangan dan sebuah mobil chrysler seharga 100 ribu dollars amerika serikat. Sungguh sayang, monumen prasasti di Matang Glumpang Dua itu kini telah berubah menjadi ruko.

Jika kita mau jujur pada diri kita sendiri, catatan sejarah diatas secara logika cukup kuat bukti untuk mengatakan bahwa Peradaban Aceh masa lampau sangatlah masyur dan jauh lebih maju ketimbang peradaban kita hari ini.

Namun tidak ada kata terlambat untuk memulai segala sesuatu, anak cucu rakyat Aceh butuh pendidikan sebagaimana suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW yang pertama sekali menerima wahyu Illahi; Iqraq "BACALAH" (QS 96:1) karena hanya dengan membaca kita dapat mempelajari berbagai ilmu pengetahuan tanpa batas, tidak terkecuali ilmu adab dan tatakrama sebagai seorang negarawan. Pendidikan akan terselenggara dengan baik jika Aceh bebas dari konflik. Meski para founding father pendidikan negeri ini pernah berpolemik dalam mempertahankan ideology-nya masing-masing, sebagaimana tergambarkan dalam letak kampus IAIN Ar-Raniry dan UNSYIAH; Jika anda hendak menuju gedung Ar-Raniry maka anda harus membelakangi UNSYIAH dan menginjak jalan Hamzah Fansury untuk sampai di gedung Ar-Raniry.

SUDAH terbukti secara historis dan empiris pula; Asal mula malapetaka itu berawal dari Maklumat Gubernur Jenderal J.Loudon, Gubernur Jenderal Belanda yang memproklamirkan perang terhadap Kerajaan Aceh, di bawah pemerintahah Sultan Alaiddin Mahmud Syah II.

Mulai pagi 26 Maret 1873 itu, Aceh memasuki babak baru kehidupannya, yakni perang dengan Belanda yang berkepanjangan. Meski dengan gusar dan marah Multatuli, seorang penulis keturunan kolonial membuat surat terbuka kepada penguasa utama Belanda King Williem III atas sikap Gubernur Jenderal J. Loudon terhadap Aceh. Surat itu mirip ramalan takdir untuk negeri dibawah angin menghadapi ancamannya. Meski mendapat tekanan dari berbagai pihak, bahkan parlemen Belanda terpaksa menolak anjuran perang ini, namun Loudon terus mendistorsi perkembangan Aceh dengan telegram telegram propaganda dan provokasi.

Aceh "dihukum bersalah" sebab melanggar perjanjian niaga, perdamaian dan persahabatan yang dibuat 30 Maret 1857 antara Aceh dan Pemerintah Hindia Belanda. Mata sejarah akhirnya tidak menemukan bukti pelanggaran Aceh dengan Negeri Kincir Angin itu, kecuali bahwa Kerajaan Aceh telah mengalihkan transaksi niaganya ke negara Eropa lainnya.

Bahwa pasca deklarasi maklumat perang kerajaan Belanda terhadap Kerajaan Aceh yang diumumkan diatas gladak kapal Citadel Van Anterwepen dan hingga kini prasastinya masih berdiri tegak di Kebun Raya Bogor, telah membuat kita kehilangan segalanya mulai dari istana yang megah, tahta, harta, wanita, anak-anak, budaya, adab dan tatakrama hingga harga diri sebagai sebuah bangsa yang besar pun ikut tergerus dibawa ganasnya arus konflik panjang yang melelahkan.

Pengkhianatan kerajaan Inggris terhadap kerajaan Aceh (traktat London 1824) ini telah memicu perang kerajaan Aceh turun temurun dengan kekuatannya sendiri melawan kerajaan Belanda hingga sultan Aceh yang terakhir Tuanku Muhammad Dawodsyah tertawan Belanda pada Januari 1903 dan dibawa ke Batavia ditahan di toetoepan djatinegara (kini lapas cipinang). Sementara itu di Aceh kedaulatan Kerajaan Aceh dan perjuangan mempertahankan dari gempuran dan kejaran Belanda diteruskan oleh seorang ulama kepercayaan kerajaan yaitu Tgk.Chik di Tiro Muhammad Saman yang bahu membahu bersama rakyat, hingga Cut Nyak Dhien tertawan Belanda 1905 dan gugurnya Cut Meutia 1910.

Konflik Aceh tidak berakhir sampai disitu, kemudian hari para "oelama poesa" yang cendrung absolut, sedianya sebagai ulama diletakkkan sebagai pondasi dan deberikan tempat yang tinggi dan sangat terhormat dalam tata negara Kerajaan Aceh pun ikut tergoda akan kekuasaan dan kilauan singgasana, lalu meminta bantuan saudara tua, Jepang, dibawah komando Kolonel V Fujiwara untuk mengusir Kaphe Beulanda, namun mengorbankan administrator administrator ulung (baca: uleebalang) bahkan ulama sendiri dan rakyat kemudian ikut menjadi korban keganasan saudara tua dalam memperluas dominasinya di Asia Raya.

Tahun 1941 H Belanda lari tunggang langgang meninggalkan tanah Aceh diusir dan dikejar kejar tentara Jepang, meninggalkan arena perang tanpa pamit. Agustus 1945 konspirasi Sekutu dengan Amerika yang sakit hati atas keberanian dan sukses besar pasukan "kamikaze" menyerang pangkalan AL Amerika Pearl Harbour, membuat Amerika gusar lalu mengirimkan bom atom meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki memaksa Jepang menyerah kalah dari perang dunia II.

Usai Perang Dunia II Belanda dan Jepang tak pernah kembali ke tanah Aceh untuk menyudahi perangnya terhadap Kerajaan Aceh dengan ksatria, meskipun para pemenang Perang Dunia II sepakat untuk berbagi atas bekas tanah jajahan dan merancang kembali skenario penyerbuan, namun aksi Belanda dalam Agressi II yang telah berhasil menguasai kembali Republik Indonesia hanya mampu menginjakkan kaki sampai di Besitang, Langkat, Sumatera Utara yang berbatasan lansung dengan Kerajaan Aceh.

Pejuang Aceh bahu membahu menahan laju Agressi II hanya sampai disitu, lalu pecahlah perang yang dikenal dengan nama Pertempuran Medan Area. Belanda gusar merasa Kerajaan Aceh ikut campur dalam urusan sengketa Belanda dengan Republik Indonesia. Lalu melalui pesawat udara Kerajaan Belanda menyebarkan maklumat kepada rakyat di seantero Aceh, yang berbunyi; "Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Kerajaan Aceh dan meminta kepada Kerajaan Aceh tidak ikut campur dalam sengketa antara Kerajaan Belanda dengan Negara Republik Indonesia".

Semangat nasionalisme pejuang-pejuang Aceh tak dapat dibendung hanya dengan maklumat pengakuan kemerdekaan Aceh oleh Kerajaan Belanda. Para pejuang Aceh tetap pergi ke perbatasan untuk melawan tentara Belanda, akhirnya RRI Rimba Raya, Aceh tampil sebagai penyelamat Republik membuat PBB memaksa Belanda berunding dan harus mengakui kemerdekaan Republik Indonesia secara penuh.

Belanda dan Jepang kembali kenegaranya dengan membawa ribuan ton emas dan benda berharga lainnya hasil rampasan dari tanah jajahan dan mewariskan konflik Aceh kepada NKRI, kelak mereka membangun negerinya dan mewariskan negara yang kaya serta moderen kepada anak cucu mereka, sesungguhnya itu adalah hasil rampokan dari tanah jajahan. Rakyat Aceh tidak silau dengan harta dan peradaban mereka yang moderen.

Yang diinginkan oleh seluruh rakyat Aceh adalah semestinya mereka para penjajah itu mau menyelesaikan perang dengan cara-cara yang beradab, ksatria dan bermartabat. Tidak mewarisi konflik yang mereka tinggalkan kepada Republik Indonesia.

Lahirnya pemberontakan DI/TII dan mereda dengan Ikrar Lamteh 1957. Lalu di puncak Gunung Halimun, Pidie, 4 Desember 1976. Tgk.Hasan Asleh, Tgk.Jamil Amin,Tgk. Zainal Abidin, Tgk.Ilyas Leubee, Tgk.Daud Paneuk dan Tgk.Hasan Muhammad di Tiro berikrar mendirikan Negara Aceh Merdeka (AM). Organisasi yang berjuang menegakkan Negara Aceh yang merdeka dan berdaulat lalu dikenal dengan nama Geurakan Aceh Meurdehka (GAM) dengan sayap militer yang dikenal dengan nama TNA (Teuntra Neugara Atjeh) dan berjuang di dunia iternasional dengan nama Aceh Sumatera National Libertion Front (ASNLF), adalah merupakan akumulasi kekecewaan terhadap pusat negara kesatuan negeri-negeri dibawah angin (baca: indonesia) dan merupakan saluran perlawanan rakyat Aceh warisan endatu bangsa Aceh dalam pencarian dignity dan entitasnya yang hilang, maka dijadikanlah Aceh sebagai "padang kuru setra" oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga hari ini.

Meski kini sudah hidup di era digital namun janganlah lupa pada kokok ayam jantan menjelang subuh, yang dulu pernah membangunkan tidur dan menyadarkan kita bahwa sebentar lagi mata hari akan terbit, pada masa itu memang belum terbiasa dengan peralatan digital dan alaram, paling cuma jam weker.

Sejak 26 Maret 1873 hingga kini cukup banyak sudah jumlah korban perang Aceh berjatuhan, lalu 26 Desember 2004 Tsunami datang dan juga mengambil korban tidak kurang dari 20 ribuan nyawa dan tak terhitung harta benda lainnya, namun dibalik musibah membawa berkah pula dimana ada ribuan dari tahanan politik Aceh belum lama telah dipindahkan ke Pulau Jawa dan pejuang yang belum tertangkap lari ke gunung-gunung terselamatkan dari Tsunami, lalu Tsunami juga mengilhami sebuah perdamaian yang benama MoU Helsinki dan ditukarlah senjata dengan demokrasi.

Konflik panjang telah terbukti sukses besar melahirkan generasi yang miskin dalam segala aspek kehidupan, bahkan Aceh telah kehilangan begitu banyak tokoh berbobot.

Perdamaian pun melahirkan pemain sandiwara yang dulu memusuhi para pejuang tiba-tiba berdiri di garis depan sebagai pahlawan kesiangan (baca: kaleubeh gam awak gam yang tamong tanggai 16 daripada gam yang seubeutoi jih), euphoria gam tumbuh pesat dan bermunculan para badut yang lalu sebagiannya didaulat oleh rakyat Aceh agar naik ke atas panggung pentas politik dan singgasana negeri ini, dari ujung timur hingga ujung barat, setelah mereka dipilih para badut ini juga banyak yang lupa pada dirinya sendiri dan asal muasalnya apalagi sama rakyatnya, dan hari ini rakyat hanya menjadi penonton saja dengan sesekali sebagai rakyat ikut mentertawakan pilihannya ketika menyaksikan tayangan para badut berakting membawakan peran lucu, bukankah sebenarnya sama saja kita telah mentertawakan diri kita sendiri ?

Tidak ada maksud saya untuk mengajak pembaca bernostalgia dalam heroisme perjuangan Aceh dan membuka luka lama, apa lagi menggurui, saya hanya seorang anak manusia biasa yang juga tidak luput dari salah dan dosa, saya hanya seorang tawanan perang Aceh terhina dan terbuang dipenjara di negeri orang nun jauh dari kampung halaman dan sanak saudara, saya hanya benar-benar merasa khawatir dengan sejarah yang akan kita warisi kepada anak cucu kita kelak.

Haqqul yakin, jika dunia ini belum kiamat; 300 tahun yang akan datang anak cucu kita kelak akan malu dan tidak mau membaca sejarah kita sebagai endatu mereka jika kita tidak memulainya sekarang dengan akal sehat dalam mebangun kembali negeri dan masyarakat Aceh pasca perang dan konflik panjang, karena sudah terlampau lama negeri ini dibangun dengan tanpa akal sehat.

Kerugian yang harus ditanggung renteng oleh rakyat Aceh sejak 26 Maret 1873 hingga kini tidaklah sebanding dengan selembar MoU Helsinki 15 Agustus 2005, namun setidaknya MoU Helsinki secara konstitusi telah membuka pintu masuk menuju demokrasi bagi rakyat Aceh untuk berpartisipasi membangun negerinya.

Pesta demokrasi ini sudah didepan mata, masyarakat Aceh harus bebas menentukan pilihan caleg-caleg yang akan mewakilinya di parlemen. Jika rakyat Aceh inginkan perubahan arah kebijakan negara ini maka tidak ada pilihan lain secara konstitusi dan dijamin oleh undang-undang yaitu hanya di parlemen celah sempit itu tersedia, untuk menuju parlemen mereka butuh suara rakyat. Berperang sudah tidak mungkin lagi, karena perang bukanlah satu-satunya jalan menuju damai, lagi pula ada beberapa orang yang dulunya bergelar panglima (komandan) sudah cukup nyaman dan mapan serta puas dengan menikmati keadaan yang ada jadi ogah berperang, namun mayoritas eks teuntra, atom, pateng, juru maguen, inong balee dan rakyat biasa memang belum mendapatkan penghidupan dan keadilan yang layak, mereka ini selain mengancam perdamaian dan berpotensi memicu konflik baru, juga akan menjadi kerikil dalam sepatu perdamaian, ini adalah realita Aceh hari ini yang akan mejadi pekerjaan rumah bagi wakil takyat terpilih nantinya dan negarawan Aceh ke depan. Jika rakyat Aceh tidak ingin memilih wakilnya di parlemen (baca:golput) maka bersiap-siaplah untuk berteriak-teriak diluar pagar parlemen, paling-paling akan diusir dengan water cannon jika mendemo parlemen untuk memaksakan kehendak atas nama rakyat..


Kewajiban bagi semua rakyat Aceh adalah menjaga balita perdamaian yang bernama MoU Helsinki ini, dengan menjaga perdamaian dan tidak terprovokasi oleh ajakan yang menyesatkan dan merusak perdamaian, gunakan dengan sebaik-baiknya hak sebagai rakyat untuk memilih wakil yang akan duduk di parlemen sesuai dengan pilihan hati nurani masing-masing, maka proses menuju kedaulatan rakyat akan benar-benar terselenggara dengan baik. MoU Helsinki yang masih balita, sebagaimana layaknya seorang balita sudah tentu sibalita membutuhkan asupan gizi yang cukup, perhatian dan kasih sayang yang cukup, jika memang kita ingin melihat sibuah hati tumbuh sehat dan cerdas kelak.

Namun janganlah salah pilih karena akan fatal akibatnya ke depan, iklan perusahaan kecap memang selalu mengatakan produknya yang terbaik dan memberikan cap jempol, namun pengalaman panjang rakyat Aceh hidup di tengah konflik tentu saja telah membuat rakyat cerdas membedakan antara partai keledai bawa kitab dan partai pencuri kuda, karena kabarnya pemotong tali unta Nabi juga ikut mendirikan partai politik di Aceh.

Titip pesan kepada caleg-caleg dan Negarawan Aceh, masih terbuka lebar kesempatan membuat sejarah yang gemilang bagi Aceh, jangan sebaliknya justeru tuan-tuan yang akan ditulis menjadi bagian dari sejarah kelamnya bangsa ini.

Bila tuan-tuan terpilih utamakanlah sosialisasi perdamaian dan segera hidupkan sektor industri rakyat di Aceh agar ekonomi rakyat, petani dan nelayan bangkit, janganlah mengandalkan anggaran bantuan dan hibah dari negara untuk rakyat saja. Semoga mejadi legislator-legislator dan negarawan-negarawan yang beradab dan bertatakrama Aceh sebagaimana layaknya endatu bangsa Aceh 370 tahun yang lalu.

Karena: Nabi Khaidir AS pernah berwasiat kepada Syech Abdulrauf al-Sinkili dan Sultan Iskandar Muda. (wasiat endatu wangsa Aceh: Naqal Syech: mandiyatul badiah: 10);

"Pada tahun 1440 Hijriyah. Negeri Aceh akan dikuasai oleh rakyat yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang datang dari rakyat keturunan pemimpin adil. Manusia pada waktu itu kuat agamanya, kuat imannya. Taat beribadah, namun hidup dalam ketakutan, baik tokoh pemerintahan dan para ulama maupun rakyat biasa, para guru, santri-santri dan tokoh masyaratakat sangat takut kepada penyakit yang tidak dapat dideteksi oleh alat medis, yaitu tenung atau sihir, karena banyak manusia pada masa itu juga menuntut dan mengamalkan ilmu-ilmu sihir atau ilmu hitam.

Pada masa itulah akan datang seorang pemimpin yang akan menjalankan Adat dan Hukum yang adil. Hingga negeri aman, damai, adil dan makmur, sejahtera seperti dahulu kala. Akan berdiri tegak kembali Negeri Aceh Serambi Mekkah".

Catatan: Suntingan sejarah Aceh diatas bukanlah merupakan hak kekayaanintelektual penulis, namun penulis sunting dari beberapa sumber. Antara lain: situs moderen Pemda NAD.

Penulis adalah Tgk.Ismuhadi Peusangan Narapidana Politik Aceh yang ditahan di Pulau Jawa sejak tahun 2000.


Sumber : pertaniandiindonesi4.blogspot.co.id

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...