Selama
ini kita mengatakan bahwa Indonesia dijajah belanda selama 350 tahun. Benarkah demikian
adanya?
Berdasarkan
sejarah yang kita pelajari selama ini, kita meyakini bahwa Belanda dianggap
menjajah Indonesia selama 350 tahun karena bertepatan dengan berdirinya VOC (Vereenigde
Oost-Indische Compagnie), perusahaan dagang multi nasional Belanda, pada tahun 1602.
Artinya, jika dirunut sampai tahun proklamasi kemerdekaan indonesia tahun 1945,
tepatnya 343 tahun Indonesia dijajah. Berbeda lagi jika kita runut ke tahun
1949 saat pengakuan kedaulatan Indonesia oleh belanda.
Selain itu, ada kepercayaan bahwa penjajahan dimulai ketika kakak beradik
De Houtman tiba dibanten tahun 1596. Itupun belum dianggap awal penjajahan
karena mereka hanya melalukan penjajakan ke wilayah tersebut.
Meski begitu, pelajaran sejarah yang selama ini kita percaya perlu
dikaji kembali. Joss Wibisono, seorang kontributor majalah Historia yang tinggal dan
menetap di Belanda mengkaji mitos yang telah lama dipercaya dalam masyarakat
ini.
Sebenarnya
banyak sekali dampak buruk kolonialisme Belanda di Indonesia. Tapi, mengapa
kita selalu menekankan lamanya kolonialisme yang justru tidak benar itu? Ini
bukti betapa kita benar-benar buta sejarah, selain akibat ulah Orde Baru
menghapus sejarah, mereduksinya hanya sebagai angka tahun dan peristiwa belaka.
Sejarah sebagai narasi tentang perubahan, pergeseran dan perkembangan pemikiran
tetap asing bagi kita.
Bagaimana
sebaiknya melihat penjajahan Belanda serta pelbagai macam aspek negatifnya?
Pernyataan “Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun” mengandung banyak
ketidakbenaran dan salah persepsi. Tidak ada satu pun wilayah Indonesia yang
benar-benar dijajah selama 350 tahun.
- Banten/Jakarta sebagai markas besar VOC mengalami penjajahan maksimal selama 340 tahun.
- Ambon baru Belanda kuasai pada 1630, artinya dijajah belanda selama 315 tahun.
Selain
Banten/Jakarta dan Maluku, Belanda bertahap menundukkan wilayah-wilayah
Nusantara. Kebanyakan baru berlangsung pada abad ke-20 ketika kolonialismenya
bercorak Politik Etis. Sisi lain Politik Etis yang bertujuan mendidik kaum inlanders, oleh orang Belanda disebut sebagai pacificatie,
gampangnya penaklukan wilayah-wilayah luar Jawa.
- Aceh baru ditaklukkan pada 1904 –bahkan Belanda baru sepenuhnya berkuasa pada 1912–, artinya maksimal aceh dijajah 38 tahun oleh belanda.
- Bali dikuasai pada 1906. Dengan begitu Bali dijajah selama 36 tahun.
Kalau
dihitung dari 1602 sampai 1942 ketika Jepang masuk, Belanda jelas sudah tidak
efektif lagi menguasai Nusantara. Artinya, kita tidak bisa pukul rata bahwa
seluruh wilayah Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun. Kalau itu tetap
dilakukan, kita akan keliru memahami perjuangan orang-orang Aceh dan Bali yang
mempertahankan wilayahnya dari pendudukan Belanda.
Kita
juga akan salah memahami kepahlawanan Cut Nyak Dhien, karena dia
mati-matian mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan Aceh. Bukan karena Cut Nyak
Dhien memberontak terhadap (penjajahan) Belanda. Waktu itu, Aceh belum dikuasai
Belanda. Sampai akhir abad ke-19 Aceh merupakan sebuah negara berdaulat, bahkan
memiliki duta besar di Turki.
Bukankah
dengan menganggap Indonesia dikuasai Belanda selama 350 tahun berarti kita juga
menganggap Aceh sudah lama dikuasai Belanda, sehingga Kesultanan Aceh dan
perlawanan Cut Nyak Dhien kehilangan maknanya.
Kesalahan lain
adalah menyebut “Indonesia”. Seolah-olah Indonesia sudah lama ada dan dijajah
Belanda selama 350 tahun. Kata “Indonesia” Sendiri baru muncul tahun 1850
sebagai istilah untuk menyebut kepulauan melayu. Sebelum itu adalah Hindia
Belanda, dan sebelumnya pada abad ke-19 adalah Kesultanan Aceh, Kerajaan Bone,
Kerajaan Klungkung, dan lain-lain. Indonesia sebagai sebuah negara, belum ada.
Ada pula
pendapat yang menampilkan Belanda sebagai penjajah yang tidak mengalami
perubahan dalam kurun waktu tiga setengah abad. Ini jelas tidak benar. Yang
mulai menjajah sebenarnya adalah sebuah perusahaan multinasional bernama VOC
atau gampangnya Kumpeni.
Selama abad 17 dan 18, Belanda merupakan republik. Ketika VOC bangkrut,
jajahannya diambil alih oleh Belanda yang masih belum bercorak monarki.
Kemudian muncul apa yang disebut interregnum (penguasaan sela) Inggris pada awal
abad ke-19 dengan Sir Thomas Stanford Raffles sebagai gubernur jenderal. Pada
waktu itu Belanda sendiri dijajah oleh Napoleon, pemimpin Perancis kala itu.
Ketika Belanda
merdeka dari jajahan Prancis dan berubah menjadi kerajaan serta Inggris
mengembalikan Nusantara, Belanda benar-benar menguasai Indonesia pada 1813. Tak
lama kemudian dengan memberlakukan Tanam Paksa, alam dan rakyat Jawa langsung
dijadikan sapi perahan. Sebagai kerajaan, wilayah Belanda masih mencakup
wilayah Belgia. Keduanya masih satu kerajaan. Bahkan salah satu gubernur Hindia
Belanda pada awal abad ke-19, Leonard du Bus de Gisignies, adalah orang Belgia.
Pada 1830 Belanda kembali mengalami perubahan karena Belgia memisahkan diri.
Nah, kalau
hanya menyebut Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun, selain jangka waktu
itu salah, pelbagai perubahan penting yang terjadi di Belanda selama kurun
waktu tiga setengah abad akan luput dari sudut pandang kita. Bagaimana
membicarakan kolonialisme Belanda tanpa terjebak dalam pelbagai kesalahan tadi?
Jangan khawatir: tanpa menyebut durasinya, kita masih tetap bisa menuding
banyak keburukan kolonialisme Belanda di Indonesia. Salah satunya, dan ini
jarang sekali diungkap orang adalah Tanam Paksa.
Orang Belanda
sendiri mengakui betapa Tanam Paksa merupakan cara menyedot kekayaan dari
wilayah jajahan. Bahkan sampai Cees Fasseur pun, sejarawan konservatif Belanda,
mengakui hal itu. Katanya, berkat apa yang disebut Indische baten (keuntungan
Hindia), Belanda bisa membangun jaringan kereta api yang sampai sekarang masih
dipergunakan. Demikian pula dua jalan air penting Belanda, Noordzeekanaal dan
de Nieuwe Waterweg, dibangun dengan keuntungan Hindia itu.
Nah,
Tanam paksa ini mungkin dapat kita sebut sebagai awal penjajahan, karena adanya
penyiksaan, membatasi kemerdekaan manusa, dan membawa pada kemiskinan dan
kemelaratan rakyat. Hal inilah yang kemudian memicu ide kemerdekaan oleh para
elit politik dan kaum terdidik kala itu. Sekali lagi, jika kita runut dari awal
tanam paksa pada tahun 1830, maka penjajahan oleh belanda hanya berlangsung 115
tahun
Anehnya,
walaupun sudah mengakui keburukan Tanam Paksa, orang Belanda tetap saja
menggunakan istilah Cultuurstelsel yang tak lain adalah bahasa pejabat
pada abad ke-19 ketika politik memaksa petani Jawa ini dilancarkan. Ini juga
bisa kita tudingkan pada mereka. Kalau sudah tahu buruknya, mengapa tidak
menggunakan istilah Tanam Paksa saja yang dalam bahasa Belandanya adalah gedwongen coffieteelt?
Di
Belanda, baru Jan Breman yang menggunakan istilah ini. Pakar sosiologi pedesaan
ini sekarang terlibat dalam polemik sengit dengan Cees Fasseur soal Tanam
Paksa. Fasseur berpendapat, walaupun dirugikan, tapi petani Jawa masih sedikit
memperoleh manfaat Tanam Paksa ketika hasil panen mereka dijual ke pasar
internasional.
Breman tidak
setuju, integrasi ke pasar dunia itu menurutnya malah memiskinkan. Mengutip
seorang pejabat kolonial yang mbalelo,
Breman dalam buku terbarunya mengenai Tanam Paksa di Pasundan menulis bahwa
petani Zeeland (Belanda tenggara) pasti tidak akan
mau kalau hasil panennya dijual di bawah harga pasar. Lebih dari itu, pelbagai
pembatasan lain yang diterapkan penguasa kolonial terhadap warga beberapa desa
Pasundan pada abad ke-18 merupakan semacam laboratorium untuk mengembangkan
apartheid yang pada abad ke-20 berlaku di Afrika Selatan.
Hal lain yang
bisa kita tudingkan ke hidung orang Belanda adalah kenyataan bahwa mereka tidak
pernah mengakui proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Bagi Belanda, Indonesia
baru merdeka pada 27 Desember 1949, ketika Den Haag menyerahkan (bagi kita mengakui)
kedaulatan Republik Indonesia Serikat dalam sebuah upacara di Istana De Dam,
Amsterdam. Beda lima tahun itu adalah upaya gagal mereka merebut kembali
Indonesia yang sudah memproklamasikan kemerdekaannya.
Baru
pada 2005, ketika hari ulang tahun proklamasi ke-60, Menteri Luar Negeri
Belanda Bernard Bot hadir pada upacara detik-detik proklamasi. Sebagai menlu
pertama Belanda yang hadir pada upacara itu, dia menyatakan mengakui secara
moral proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pernyataan ini tidak tegas dan
sangat mengambang.
Apa maksudnya
“mengakui secara moral” itu? Mengapa tidak langsung saja mengakui proklamasi
kemerdekaan kita? Ada yang menafsirkan ucapan semacam ini tidak lebih dari
tameng untuk melindungi negara (tentu saja negara Belanda) dari kemungkinan
tuntutan pengadilan yang diajukan kalangan bekas pegawai negeri Hindia Belanda.
Selama penjajahan Jepang misalnya pemerintah Belanda tidak menggaji mereka
lagi. Padahal mereka belum dipecat sebagai pegawai negeri. Dihalangi oleh
kemungkinan-kemungkinan semacam ini Belanda pada akhirnya tidak pernah bisa
tegas dan jelas dalam berhubungan dengan Indonesia. Rasanya seperti maju kena,
mundur kena.
Melalui
dua contoh di atas –sebenarnya contoh itu masih banyak– kita diajak untuk melek
sejarah supaya paham, sadar dan bisa menerima bahwa dalam sejarah tidak ada
yang statis dan tidak berubah. Indonesia baru lahir setelah Proklamasi 17
Agustus, sebelum itu Indonesia adalah Hindia Belanda yang dijajah Belanda.
Tetapi selama penjajahan itu banyak terjadi perubahan dan itu bukan hanya
berlangsung di Hindia Belanda melainkan juga di Belanda.
Sekarang
Indonesia sudah merdeka, akankah perubahan itu berhenti seperti sering kita
dengar dalam slogan NKRI harga mati? Silakan memikirkan dan menjawabnya
sendiri. Yang jelas Timor Timur sekarang sudah jadi Timor Leste, itu karena
Orde Baru sudah jatuh. Mungkinkah kita menghentikan perubahan? Yang pasti,
sejarah sebagai penjelas masa kini yang juga berarti perubahan, pergeseran dan
perkembangan pemikiran tetap asing bagi kita.
Sumber : http://historia.id/modern/mitos-350-tahun-penjajahan
No comments:
Post a Comment