Temuan baru muncul mengungkap siapa sebenarnya Musso atau Munawar Musso alias Paul Mussote (nama ini tertulis dalam novel fiksi Pacar Merah Indonesia karya Matu Mona), tokoh komunis Indonesia yang memimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) pada era 1920-an. Nama Musso terus berkibar hingga pemberontakan Madiun 1948.
Musso dilahirkan di Kediri, Jawa Timur 1897. Sering disebut-sebut, Musso adalah anak dari Mas Martoredjo, pegawai kantoran di Kediri. Penelusuran merdeka.com mengungkap cerita lain, bahwa Musso ternyata putra seorang kiai besar di daerah Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Kiai besar itu adalah KH Hasan Muhyi alias Rono Wijoyo, seorang pelarian pasukan Diponegoro.
Kabar bahwa Musso diragukan sebagai anak Mas Martoredjo muncul dari informasi awal Ning Neyla Muna (28), keluarga Ponpes Kapurejo, Pagu, Kediri yang menyebut Musso itu adalah keluarga mereka.
Sulit untuk dipercayai, jika Musso anak pegawai kantoran biasa di desa, bisa menjadi pengikut Stalin dan fasih berbahasa Rusia. Bahkan untuk berteman dengan Stalin dan bisa melakukan aktivitasnya yang menjelajah antarnegara hanya bisa dilakukan oleh orang-orang kaya di masa itu.
Kalau bukan anak orang berpengaruh, sulit pula baginya menjadi pengurus Sarekat Islam pimpinan H.O.S Tjokroaminoto. Selain di Sarekat Islam, Musso juga aktif di ISDV (Indische Sociaal-Democratishce Vereeniging atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda).
Saat di Surabaya Musso pernah kos di Jl. Peneleh VII No. 29-31 rumah milik HOS Tjokroaminoto, guru sekaligus bapak kosnya. Selain Musso di rumah kos itu juga ada Soekarno, Alimin, Semaun, dan Kartosuwiryo.
Musso, Alimin, dan Semaun dikenal sebagai tokoh kiri Indonesia. Sedangkan nama yang terakhir, menjelma menjadi tokoh Darul Islam, ekstrem kanan. Mereka dicatat dalam sejarah perjalanan revolusi di Indonesia.
Saat kos itu, Musso menjadi salah seorang sumber ilmu Bung Karno dalam setiap percakapan. Seperti misalnya saat Musso menyoal penjajahan Belanda, "Penjajahan ini membuat kita menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa."
Merdeka.com menemui KH Mohammad Hamdan Ibiq, pengasuh Ponpes Kapurejo, Pagu Kediri untuk bertanya tentang siapa Musso. "Saya hanya mengetahui Musso memang keluarga besar Ponpes Kapurejo, namun yang paham itu adalah KH Muqtafa, paman kami. Yang saya pahami Musso itu anak gawan (bawaan), jadi saat KH Hasan Muhyi menikahi Nyai Juru, Nyai Juru sudah memiliki putra salah satunya Musso. Makam keduanya berada di komplek Pondok Pesantren Kapurejo," kata Gus Ibiq paggilan akrab KH Hamdan Ibiq, akhir bulan lalu.
Penelusuran dilanjutkan ke rumah KH Muqtafa di Desa Mukuh, Kecamatan Kayen Kidul, Kabupaten Kediri. Tiba di rumah KH Muqtafa, si empunya rumah tampak sedang asyik mutholaah kitab kuning (membaca dan memahami kitab kuning) tepat di depan pintu rumahnya.
Setelah mengucapkan salam dan dijawab, kemudian Kyai Tafa mempersilakan masuk. Rumah lelaki pensiunan pegawai Departemen Agama ini tampak asri, tembok warna putih dan ada bagian gebyog kayu jati yang menandakan pemiliknya orang lama. Ditambah beberapa hiasan kaligrafi Arab yang ditulis dengan indah menempel di antara dinding rumahnya. Selanjutnya Kiai Tafa masuk ke rumah induk dan berganti pakaian yang semata-mata dia lakukan untuk menghormati tamunya.
Lima menit berlalu, Kiai Tafa keluar dan menanyakan maksud kedatangan. Sebelumnya lelaki yang sudah tampak uzur ini menyatakan meski keturunan keluarga pesantren, dia tak memiliki santri. Sebab dia harus menjadi pegawai negeri dan berpindah-pindah tempat.
"Mau bagaimana lagi memang harus seperti itu," kata Kiai Tafa membuka perbincangan.
Setelah mengutarakan maksud dan tujuan untuk mengetahui sejarah Ponpes Kapurejo, kemudian penuh semangat, Kiai Tafa menjelaskan secara gamblang dengan suara yang sangat berwibawa.
Belum membuka pembicaraan tentang Musso, merdeka.com hanya ingin mengetahui arah pembicaraannya seperti yang disampaikan Gus Ibiq, bahwa Kyai Tafa lah yang menjadi kunci silsilah keluarga Pondok Pesantren, Kapurejo.
"KH Hasan Muhyi itu orang Mataram, sebenarnya namanya adalah Rono Wijoyo. Beliaulah pendiri Pondok Pesantren Kapurejo. Beliau menikah sebanyak tiga kali, istri pertamanya adalah Nyai Juru. Dari pernikahannya yang pertama itu KH Hasan Muhyi diberikan 12 putra. Dan maaf salah satunya mungkin orang mengenal dengan nama Musso, ujar Kiai Tafa yang sedikit canggung ketika menyebut nama Musso.
Meski canggung, Kiai Tafa kembali menegaskan itulah fakta sejarah. "Mau bagaimana lagi itulah fakta sejarah," tukasnya.
Saat kecil santri yang cerdas
Putra seorang kiai dan berada di lingkungan pesantren sejak kecil, tentu saja Musso kecil rajin nyantri. Cerita ini disampaikan oleh KH Mohammad Hamdan Ibiq, pengasuh Ponpes Kapurejo, Pagu, Kediri. Menurut Gus Ibiq, sapaan Hamdan Ibiq, Musso selain masih keluarganya, juga pernah nyantri layaknya putra para kiai, penuturan ini berdasarkan cerita dari para leluhurnya.
Tidak disebutkan jelas di mana dia nyantri, tapi berdasarkan keterangan kakek buyut saya, Musso merupakan anak yang cerdas kala dia nyantri," kata Gus Ibiq kepada merdeka.com.
Hingga sekarang, pihak keluarga meyakini bahwa apa yang dilakukan Musso dengan gerakannya itu lebih pada pilihan politik, bukan ideologis. "Saya kira dia paham agama, apa yang dia lakukan semata untuk melawan Belanda, tambah Gus Ibiq.
Gus Ibiq lantas mengajak merdeka.com ke makam pendiri pesantren, KH Hasan Muhyo dan Nyai Juru. Makam keduanya berada di kompleks Pondok Pesantren Kapurejo. Kompleks makam keluarga yang berjarak 200 meter dari lokasi pesantren induk ke arah belakang. Makam KH Hasan Muhyi berjajar di antara makam keluarga lainnya, sedangkan makam Nyai Juru berada lebih atas dengan nisan batu layaknya nisan orang kuno.
Posisi makam yang berbeda ternyata disebabkan Nyai Juru lebih dahulu meninggal dibandingkan KH Hasan Muhyi. Sebab berdasarkan silsilah keluarga KH Hasan Muhyi menikah sebanyak tiga kali.
Dari makam kedua orangtua Musso, merdeka.com menuju Desa Jagung yang berjarak kurang lebih 4 kilometer dari Ponpes Kapurejo dengan tujuan mencari rumah peninggalan orang tua Musso. Sebuah fakta mengejutkan, rumah di ujung desa tersebut sudah lenyap dan terganti dengan rumah-rumah baru sejak 5 tahun lali. Sebab digambarkan sebelumnya rumah orang tua Musso rumah berbentuk rumah tradisional srotong atau doro gepak yang terbuat dari kayu jati.
Di depan rumah Muso, ada pohon durian yang sangat besar, dan selalu berbuah lebat di setiap musim durian. Selain salah satu orang kaya dan terpandang, Nyai Juru selalu memberi perhatian kepada para tetangganya, salah satunya mengajak bermain ke rumahnya.
"Saya pernah main ke rumah itu saat saya masih kecil, namun saya tidak pernah bertemu Musso, sebab dia memang jarang pulang. Saya pun hanya mendapatkan cerita, Musso sesekali pulang menjenguk ibunya (Nyai Juru) yang sedang sakit. Di saat Muso pulang itu biasanya ada penggerebekan, namun dia selalu lolos, penggerebekan itu lebih karena karena ketokohannya," kata Nur Hasan (85) salah seorang warga di Desa Jagung.
Di tanah ini, dulu adalah rumah Musso saat kecil. |
Gambaran perjalanan Muso akhirnya diteruskan kepada sumber organik yang lain yakni Ustaz Nurudin (85) warga Dusun Santren Desa Jagung Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri. Menurutnya, KH Hasan Muhyi dulu juga sempat membuat pesantren di wilayah Dusun Santren, Desa Jagung, Kecamatan Pagu.
"Pesantrennya hanya berbentuk langgar angkringan (mushala bambu) tepatnya tahun berapa saya ndak paham, cuman bapak saya bilang tahun 1926 sudah ada. Saat membangun pesantren itu, KH Hasan Muhyi didampingi beberapa temanya sesama pelarian pasukan Diponegoro, yakni Ki Martojo, Ki Sanan Kemat, Mbah Awi, dan Mbah Mantari," kata Ustaz Nuruddin.
Dan pada tahun 1954, KH Hasan Muhyi memindah pesantrennya ke Kapurejo, Pagu, setelah sebelumnya mendapatkan wisik bahwa pesantren yang dibangunnya tersebut akan terkena lahar Gunung Kelud. Pemindahan akhirnya kejadian pada tahun 1964 atau tepat sepuluh tahun setelah mendapatkan petunjuk.
"Karena semua terlalap lahar dingin Gunung Kelud, akhirnya mushala itu dibangun permanen pada tahun yang sama dan pada perkembangannya sekitar tahun 1980 an mushala itu dibangun menjadi masjid hingga saat ini," kata Nurudin.
Tak banyak pilihan politik bagi Musso
Apa yang menyebabkan Musso beraliran kiri, padahal dia merupakan putra kiai? Banyak kalangan meyakini pilihan Musso adalah pilihan politik, bukan ideologi murni. Rasa ingin merdeka dari penjajahan yang didukung oleh pergaulannya yang menyebabkan dia berubah.
Menurut Elia Krisanto, pengamat sejarah asal Kediri, untuk melawan penjajah perlu adanya kekuatan politik yang tersentral. "Yang perlu diingat bahwa pada saat itu tak banyak pilihan berpolitik khususnya untuk melawan penjajah, kata Elia yang juga Relawan Perjuangan Demokrasi pada www.merdeka.com.
Lingkungan sangat memengaruhi kenapa kemudian Musso berubah dari cetakan awalnya yang notabene dididik di kalangan santri. Dogma tentang pemberontakan di era tahun 1950 ke bawah itulah yang berbeda dengan pemberontakan di era Orde Baru, yang selalu dicap salah tanpa melihat sisi sejarahnya, tambahnya.
Edi Musaddad, pengamat sejarah asal Salatiga yang tinggal di Jombang juga memberikan pandangannya soal Musso. Menurutnya dari berbagai sumber sejarah Musso merupakan salah satu pemimpin PKI di awal 1920-an. Dia adalah pengikut Stalin dan anggota dari Internasional Komunis di Moskow.
Pada bulan November 1926 terjadi beberapa pemberontakan PKI di beberapa kota termasuk Batavia (sekarang Jakarta), tetapi pemberontakan itu dapat dipatahkan oleh penjajah Belanda. Di mana saat terjadi pemberontakan Musso dan Alimin tidak berada di Indonesia keduanya sedang melakukan pembicaraan dengan Tan Malaka yang memang tidak setuju dengan langkah keduanya, akhirnya keduanya ditangkap di Singapura oleh intelijen Inggris, kata Edi Musaddad.
Masih menurut Edi, Musso memang menjalin hubungan yang cukup baik dengan Stalin termasuk soal Indonesia yang bukan basis buruh yang menerapkan paham feodal industri sebagai kebijakan komunis.
Indonesia basisnya petani, inilah yang sudah diprediksi oleh Tan Malaka bahwa gerakan yang dilakukan Musso nanti akan gagal, tambahnya.
Masih menurut Edi, pasca keluar dari penjara, Musso pergi ke Moskow. Dia sempat kembali ke Indonesia sekitar tahun 1935 dan dipaksa kembali ke Uni Soviet setelah gagal memaksa 7 anggota Kongres Komintern sekitar tahun 1936. Selanjutnya Musso tinggal di Moskow.
Gerakan Musso tak sampai disitu. 11 Agustus 1948 Musso kembali ke Indonesia lewat Yogyakarta, dan pada 5 September 1948 dia memberikan pidato anjuran agar Indonesia merapat kepada Uni Soviet. Dan anjuran itu berujung pada peristiwa pemberontakan PKI di Madiun, Jawa Timur .
Saat terjadi pemberontakan itu Musso sebenarnya dia tidak berada di lokasi, sebab dia sedang kampanye keliling di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur. Militer menyebut PKI memproklamirkan Republik Soviet Indonesia dan pada 18 September 1948 dengan menyebut Musso sebagai presiden dan Amir Syarifuddin sebagai perdana menteri. Dan rencana pemberontakan itu dapat dipadamkan oleh militer, imbuhnya.
Pada tanggal 30 September 1948, Madiun direbut oleh TNI dari Divisi Siliwangi. Ribuan kader partai terbunuh dan sejumlah 36.000 orang dipenjarakan. Di antara yang terbunuh adalah Musso pada tanggal 31 Oktober 1948 saat ia berusaha melarikan diri dan tertangkap di Desa Niten Kecamatan Sumorejo, Ponorogo.
Riak revolusi untuk kemerdekaan banyak dilakukan oleh bangsa Indonesia karena penjajajahan Belanda yang cukup lama. Bahkan para tokoh-tokoh nasioanal seperti Soekarno juga pada awalnya berteman akrab dengan Musso, Alimin, Semaun dan Kartosuwiryo, Ujar Edi.
Bahkan mereka pernah satu kos di Surabaya, ungkap Edi. "Mereka pernah kos Surabaya di rumah keluarga HOS Cokroaminoto, guru sekaligus bapak kosnya. Musso sendiri saat kos di rumah Cokroaminoto sebagai aktivis Sarekat Islam dia juga aktif di ISDV (Indische Sociaal Democratishce Vereeniging atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda). Karena keilmuan Musso, Soekarno menganggap dia adalah salah satu gurunya, lanjutnya.
Pasca perpisahan di Surabaya, menurut Edi- para tokoh-tokoh ini melanjutkan perjuangannya masing-masing.
Itulah dinamika politik yang terjadi di Indonesia, inilah perjalanan panjang Bangsa Indonesia. Jika dipelajari mereka memiliki tujuan yang sama yakni memiliki keinginan lepas dari penjajahan mereka selalu tegas memilih prinsip politik, kalah atau menang tak masalah, pungkasnya.
Sumber : merdeka.com
No comments:
Post a Comment